Ricuh Usai Laga Persija vs Malut United: 36 Orang Diamankan dan Diserahkan ke Dinsos
Laga antara Persija Jakarta dan Malut United yang digelar di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, pada akhir pekan lalu, diwarnai insiden yang mencoreng semangat sportivitas. Setelah peluit akhir dibunyikan, suasana yang semula penuh antusiasme berubah menjadi kericuhan, yang berujung pada diamankannya 36 orang oleh aparat keamanan.
Namun menariknya, alih-alih dibawa ke jalur hukum, puluhan orang tersebut diserahkan ke Dinas Sosial (Dinsos) DKI Jakarta untuk dilakukan pembinaan dan pendalaman data sosial. Langkah ini menjadi pendekatan berbeda yang patut dicermati dalam menangani kasus kericuhan suporter.
Kronologi Ricuh: Dari Stadion ke Pinggiran Kota
Kericuhan dikabarkan mulai terjadi setelah sebagian penonton merasa tidak puas dengan hasil pertandingan. Beberapa kelompok suporter terlibat saling dorong, dan situasi memanas ketika ada aksi provokatif di luar stadion. Aparat keamanan yang bersiaga segera bertindak untuk mengamankan situasi agar tidak meluas ke area publik lainnya.
“Mayoritas dari mereka tidak melakukan tindak pidana berat, namun terindikasi sebagai PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) yang ikut masuk ke stadion tanpa tiket resmi,” ujar Kapolres Metro Jakarta Pusat.
Pendekatan Sosial: Dinsos Turun Tangan
Sebanyak 36 orang yang diamankan kemudian diserahkan ke Dinas Sosial untuk menjalani proses identifikasi dan pembinaan. Menurut keterangan resmi, mereka berasal dari berbagai latar belakang, sebagian besar merupakan anak jalanan, pengemis musiman, dan remaja putus sekolah yang memanfaatkan momen pertandingan untuk masuk ke stadion secara ilegal.
Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan asesmen menyeluruh. “Kami tidak langsung melepas mereka, melainkan mengarahkan ke panti sosial sesuai kebutuhan, baik untuk rehabilitasi sosial, pelatihan kerja, atau pendidikan,” ungkapnya.
Reaksi Publik: Antara Simpati dan Kekhawatiran
Langkah penanganan ini menuai beragam respons dari masyarakat. Banyak yang menyambut positif pendekatan humanis pemerintah, namun tidak sedikit pula yang menyoroti lemahnya pengamanan yang membuat kelompok rentan bisa menyusup ke area stadion.
“Pertandingan sepak bola harusnya menjadi hiburan, bukan tempat pelarian bagi kelompok-kelompok rawan sosial. Tapi cara pemerintah menangani dengan pembinaan, bukan penjara, patut diapresiasi,” ujar Sinta, pengamat kebijakan sosial.
Perlu Sinergi dan Pencegahan Jangka Panjang
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa pertandingan sepak bola di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial di sekitarnya. Pemerintah daerah, pengelola stadion, pihak klub, dan kepolisian perlu bersinergi lebih erat untuk mengantisipasi bukan hanya potensi kericuhan, tetapi juga penyusupan kelompok yang memerlukan perhatian sosial.
Kemensos dan Dinsos daerah juga diharapkan bisa memanfaatkan momen seperti ini untuk menjangkau kelompok marginal yang sulit terdeteksi di hari biasa.
Insiden usai laga Persija vs Malut United bukan hanya soal kericuhan suporter, tetapi juga menyentuh persoalan sosial yang lebih dalam. Dengan 36 orang diserahkan ke Dinsos, pemerintah menunjukkan pendekatan yang lebih beradab dan solutif. Pertandingan boleh usai, tapi pekerjaan rumah terkait kesejahteraan sosial dan ketertiban publik masih harus dilanjutkan—bersama.